Selamat pagi dini hari semuanya! Okeh, kali ini daku cuma mau nge-post tafsiran ayat Qur'an, soalnya daku lagi ada tugas nyari maksud dari ayat tersebut.
Daku bangun pagi-pagi gini bukan karena alasan. Seminggu sebelum ujian akhir semester ini daku disibukkan dengan banyaknya PR! =A=''
Mengerjakan di malam hari aja sampai nggak cukup, jadi terpaksa deh dilanjutkan pagi-pagi buta begini //halah
Sumber: http://mkitasolo.blogspot.com
Oleh: Al-Ustadz Dr. Hasan el-Qudsy, M.A.,
M.Ed.
Allah berkalam:
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ (159) إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ
فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ
بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (160)
Artinya:
159:
Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
160:
Jika Allah menolong
kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan
kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong
kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja
orang-orang mu'min bertawakkal.
Makna Umum:
Ayat ini berhubungan dengan pasca perang Uhud. Di mana dalam kondisi
evaluasi kerja, tidak jarang seorang pemimpin terjebak dalam sebuah emosi
bahkan berbuat semena-mena terhadap anggota yang dianggap sebagai penyebab sebuah
kegagalan. Namun, apa yang dilakukan Rasulullah –dengan bimbingan dari Allah-
terhadap sahabat beliau telah menjadi contoh yang sungguh mulia bagi seorang
pemimpin. Sikap beliau terhadap mereka –walaupun sebagian mereka telah lari
dari medan perang- tetap santun, tidak kasar, tidak keras hati, mudah memaafkan
dan memintakan ampun atas dosa mereka kepada Allah. Bahkan untuk mengembalikan
kepercayaan antara pemimin dengan umat, beliau tidak segan-segan mengajak
mereka kembali untuk memperbaiki kondisi dengan mengajak musyawarah. Sikap
mulia semacam itu ditegaskan sebagai rahmat Allah yang diberikan kepada
Rasulullah, untuk bisa menjadi contoh bagi seluruh umat beliau. Allah berkalam,
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”
(at-Taubah:128)
Selain itu, Allah Ta’ala juga mengajari hamba-Nya lewat Rasulullah saw.
bahwa apabila dalam diri sudah ada tekad yang kuat, dibarengi dengan usaha
maksimal dan tidak melenceng dari syari’at Allah, maka hal yang harus dilakukan
setelah semua itu adalah bertawakkal kepada Allah. Mengapa demikian? Karena
Allah Ta’ala itu mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Kalau sudah
dicintai Allah, maka pertolongan dari-Nya pasti akan datang. Segala kesulitan
akan dimudahkan. Oleh karena itu pada ayat ke 160, Allah menjelaskan bahwa
salah satu kunci kemenangan adalah dengan melakukan tawakkal secara benar.
Karena pada hakekatnya kemenangan dan kekalahan adalah dari Allah. Maka orang
mukmin harus menyandarkan segalanya hanya kepada Allah. Sebagaimana pada ayat
lain, “Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. 65: 3).
Penjelasan:
1. فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ , ba` di
situ adalah ba` lit ta’qib. Maksudnya adalah hanya dengan rahmat Allah
sajalah kamu, wahai Muhammad saw. , bisa berlemah lembut kepada umatmu.
2. لِنْتَ Kata
‘linta’ di sini artinya kamu berlemah lembut. Al-layyin itu artinya lemah
lembut dan bersikap mudah (tidak suka menyakiti) kepada orang yang berbeda
pendapat.
3. فَظًّا Artinya
adalah suka bersikap kasar, cepat marah dan emosional. غَلِيظَ الْقَلْبِ Artinya adalah keras hati, tidak mau memaklumi orang lain.
Sikap ini lebih buruk dari fazhzhan.
4. Ayat ini merupakan
hasungan kepada umat Rasulullah saw. bila menjadi seorang pemimpin (dalam
segala hal), misalnya menjadi suami, ayah, ustadz, guru, dan berbagai bentuk
kepemimpinan yang lain, maka hendaknya umat Rasulullah ini meniru akhlak-akhlak
mulia beliau tersebut. Apabila seorang pemimpin bersikap kasar, keras hati,
tidak mau memahami orang yang dipimpin, maka otomatis orang yang dipimpin akan
lari dari pemimpinnya. Tidak mau mentaati meski apa yang dikatakan oleh
pemimpin adalah benar.
5. Da`i itu ibarat
penjual dagangan. Semakin pandai dia menawarkan dagangannya pada orang lain,
maka dagangannya akan semakin laku. Begitu pula seorang da`i, semakin ia pandai
mengambil simpati masyarakat, maka semakin besar kesempatan dakwah itu akan
mereka terima. Oleh karena itu, Islam selalu mengendepankan cara dakwah yang
penuh dengan kasih sayang dan menolak cara-cara pemaksaan dan kekerasan.
Kewajiban seorang da’i harus bisa membaca kepribadian mad’unya (yang diajak)
sehingga dia bisa berinteraksi terhadap mad’unya dengan baik. Dia harus
berpikir, apa akibatnya bila dia bersikap sangat tegas dan bahkan memberi
hukuman yang berat kepada mad’u tadi. Apakah mad’u itu bertipe orang yang akan
mengikuti da’i hanya dengan sekali peringatan saja. Bila cukup sekali kenapa
harus diulang? Bila bisa diselesaikan dengan halus kenapa dengan kasar? Ini
dilakukan untuk menghindari madhorot yang lebih besar. Jadi, seorang
da`i harus mempunyai ilmu yang luas dan hikmah yang tinggi. Tidak hanya sekedar
ingin berdakwah. Oleh karena itu, dalam berdakwah dibutuhkan adanya hamasatusy
syabab wa hikmatusy syuyukh. Yaitu: semangat menggelora seorang
pemuda dan kebijaksanaan seseorang yang sudah tua. Dua hal ini harus
digabungkan. Bila salah satu tidak ada, maka akan pincang akibatnya dan tidak
akan terjadi kebaikan.
6. Tidak semua
masalah akan selesai dengan kekerasan. Adakalanya bila kita bersikap keras,
maka masalah lain justru akan muncul karena kekerasan tersebut. Sehingga
masalah tidak akan selesai, tapi malah justru bertambah. Hendaknya kita bisa
menempatkan sesuatu pada tempatnya dan pada porsi yang tepat, supaya tidak
menyesal di akhir perkara.
7. Sesungguhnya dalam
lemah lembut itu terdapat berbagai kelebihan. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya
Allah itu Maha Lemah-lembut dan mencintai sikap lemah-lembut. Allah memberikan
sesuatu dengan jalan lemah-lembut, yang tidak dapat diberikan jika
dicari dengan cara kekerasan, juga sesuatu yang tidak dapat diberikan selain
dengan jalan lemah- lembut itu." (HR. Muslim).
8. Alkisah, ada
seorang tabi’in bernama Sa’id bin Jubair. Beliau tinggal di rumah susun. Rumah
di atas beliau adalah rumah seorang majusi (penyembah api). Setiap hari, selama
bertahun-tahun, Rumah Sa’id bin Jubair selalu dibasahi oleh air dari kamar
mandi orang majusi tadi. Tetapi Sa’id diam dan tidak mengingatkannya. Beliau
tetap bersabar dan setiap kali tempat yang dipakai untuk menadahi tetesan air
itu penuh, beliau membuangnya tanpa banyak bicara. Hingga suatu ketika, Sa’id
hendak meninggal, beliau memanggil orang majusi tadi. Beliau meminta maaf
karena telah memanggilnya dan menyuruhnya untuk memperbaiki kamar mandinya,
karena khawatir bila anak turunnya tidak sekuat beliau dalam bersabar, sehingga
melakukan sesuatu yang tidak pantas. Akhirnya, karena merasa sangat takjub dan
terkesima atas sikap Sa’id, orang majusi tadi langsung masuk Islam. Inilah
contoh manfaat sikap santun kepada orang lain. Bisa saja orang yang belum
beriman menjadi beriman karena sikap baik kita pada mereka.
9. Dalam sikap
berdakwah, para ulama membedakan antara sikap mudarah dan mudahanah.
Mudarah artinya sikap simpatik santun kepada orang lain, tetapi tanpa
harus mengorbankan prinsip-prinsip agama. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya
aku diperintahakan untuk bersikap lembut (berlaku santun) kepada manusia,
sebagaimana aku diperintahkan untuk menjakankan kewajiban. (HR. Ad-Dailami,
Hadits ini lemah).
Seorang da’i harus punya rasa simpatik yang besar. Ini seperti sikap
Rasulullah kepada Abdullah bin Ubay bin Salul yang merupakan pioner orang
munafik. Beliau masih berlemah lembut kepadanya, kepada orang-orang yahudi dll.
Bila dalam soal social interaksi dan tidak menyangkut keyakinan, maka
Rasulullah saw. tetap berlemah lembut kepada mereka. Tetapi dalam soal prinsip
agama, Rasulullah saw. tidak pernah mengajarkan kompromi. Kalau melihat ada
yang salah, tetap diluruskan. Hal ini terlihat diantaranya sikap Rasulullah
yang menolak dengan tegas tawaran orang kafir Quraisy untuk sekedar mengusap
patung berhala mereka. (Al-Suyuthi, Lubabun Nuqul: 138). Bagi Rasulullah
saw. hal itu adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid, walupun
kelihatannya sangat remeh. Karena sesungguhnya tidak ada yang remeh dalam
prinsip agama.
Adapun “mudahanah” artinya bersikap lunak atau lembek. Di dalam
(Qs.68:9) وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُون “Mereka (orang kafir) ingin seandainya kamu bersikap
lunak kepada mereka lalu mereka pun akan bersikap lunak padamu”. Mudahanah
cenderung kepada toleransi dan kompromi yang berlebihan sampai mengorbankan
prinsip-prinsip agama. Maka hukum mudahanah adalah HARAM. Hanya orang
yang berilmu dan bertakwalah yang mempu menghindarkan dirinya dari sikap mudahanah.
Karena tidak sedikit ulama yang terjebak dalam mudahanah dengan alasan
melaksanakan mudarah. Semoga Allah swt. selalu menjaga kita semua.
10. Sikap lemah lembut
tidak musti tanpa ketegasan sama sekali. Lembut pada tempatnya dan tegas juga
pada tempatnya. Kita harus mampu bersikap secara proporsional dan bijak.
Termasuk sikap yang harus tegas (bukan keras) adalah terhadap semua aliran
sesat, seperti Ahmadiyyah. Perlu diingat, bahwa perbedaan kita dengan
Ahmadiyyah itu bukanlah perbedaan pemahaman agama, seperti antara Muhammadiyyah
dan NU. Akan tetapi, sudah merupakan perbedaan prinsip dan keyakinan. Mereka
menyakini ada nabi setelah nabi Muhammad SAW. Sehingga, haram hukumnya kita
membenarkan Ahmadiyyah. Kewajiban bagi umat Islam, secara tegas untuk menolak
Ahmadiyah dan meminta pemerintah untuk membubarkannya. Adapun perbedaan
pendapat dengan sesama muslim, hendaknya tidak membuat kita lantas merasa
paling benar sendiri dan tidak mau saling menasehati, bertegur sapa atau
berjabat tangan. Orang yang berbeda pendapat dengan kita tentang masalah furu’
(ijtihad fikih), tetaplah saudara kita yang kehormatannya dijaga oleh Allah.
Maka jangan sampai kita mudah diprovokasi dan diadudomba dengan sesama muslim.
Sudah cukup kita dalam perpecahan selama ini.
11. Musyawarah
merupakan salah satu pilar dan prinsip agama. Rasulullah adalah orang yang
paling banyak bermusyawah dengan para sahabatnya (di luar masalah agama). Dalam
bermusyawah tentunya melibatkan pendapat ahli ilmu untuk mencapai perkara yang
lebih mendekati kepada kebenaran, dan hal yang dimusyawarahkan adalah perkara
yang tidak terdapat keterangan Al-Qur’an dan Hadits. Bila ada orang yang
mengajak kita musyawarah, hendaknya kita menjadi orang yang bisa dipercaya.
Rasulullah bersabda, “Penasehat (orang yang dimintai pendapat) adalah orang
yang amanah (dipercaya)” (HR. Tirmidzi, no. 2823).
Maksudnya, orang tersebut adalah ahli dalam bidangnya, memberi masukan yang
benar, tidak menyebarkan rahasia orang lain. Adapun ketika kita meminta
nasehat, maka jangan salah pilih. Tidak semua orang pantas kita ajak bicara.
Apalagi jika menyangkut kemaslahatan umat dan masalah strategi. Rasulullah
bersabda, “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, dan tiadalah Allah
menjadikan seorang khalifah (penguasa) melainkan ia memiliki dua pembantu, yang
pertama pembantu yang memerintahkan dan menganjurkan berbuat kebaikan, dan yang
lain pembantu yang memerintahkan dan menganjurkan berbuat kejahatan, maka yang
terjaga adalah orang-orang yang dijaga Allah Ta’ala” [HR. Bukhari , 71981].
12. Diantara tujuan
Rasulullah saw. mengajak para sahabat bermusyawarah adalah untuk membangun
kembali kepercayaan kepada mereka. Supaya mereka merasa masih dianggap oleh
Rasulullah sehingga tidak ada yang merasa kecil hati atau putus asa. Akhlak
semacam ini perlu kita contoh. Bila kita menjadi seorang pemimpin, dan ada
anggota yang mengecewakan, hendaknya jangan dijauhi. Tetapi bangunlah kembali
kepercayaan kepada mereka, rangkullah kembali dan selalu berhusnuzhzhan
pada Allah dan hamba-hamba-Nya. Memang, hal ini tidaklah mudah. Maka, hanya
kepada Allah-lah kita meminta pertolongan dan bimbingan dalam bersikap.
13. Sebagai seorang
muslim, kita harus selalu menyerahkan segala urusan kepada Allah. Keinginan,
cita-cita, harapan, semuanya kita kembalikan kepada Allah. Tentu saja setelah
usaha maksimal (tentu yang dibenarkan syara`), bermusyawah, berkonsultasi
kepada para ahli, dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Ketawakkalan seseorang
kepada Allah, adalah bukti kebenaran keimanan seorang hamba. Karena hanya
kepada Allah kita bersandar.